Premanisme Adalah Musuh Investasi – Negara Jangan Kalah

Sudah terlalu lama kita menoleransi premanisme. Dan kini, dampaknya tidak lagi sekadar gangguan jalanan atau keresahan sosial—ia telah berubah menjadi ancaman nyata terhadap masa depan ekonomi Indonesia. Premanisme adalah wajah lain dari anarki, dan jika negara tidak segera bertindak dengan ketegasan mutlak, Indonesia akan membayar dalam bentuk hilangnya kepercayaan investor dan stagnasi pembangunan.

Langkah Menkopolhukam Budi Gunawan yang langsung mengumpulkan Kementerian Dalam Negeri, Kepolisian, dan aparat keamanan untuk membahas fenomena ini layak diapresiasi. Tapi kita harus jujur: masalah ini bukan baru. Sudah lama premanisme tumbuh subur di bawah pembiaran,kompromi politik, dan ketakutan aparat terhadap para “cukong” lokal yang merasa diri lebih berkuasa daripada hukum.

Contohnya tidak sulit ditemukan. Perusahaan otomotif asal Tiongkok, BYD, yang tengah berekspansi di Jawa Barat, diganggu oleh kelompok preman terorganisir. Bahkan perusahaan sebesar Chandra Asri di Banten—pemimpin industri petrokimia nasional diintimidasi oleh kamar dagang lokal yang memaksa proyek dialokasikan tanpa tender resmi. Ini adalah bentuk pemerasan terselubung. Dan ini terjadi di depan mata aparat.

Investor mencatat semua ini. Dan mereka menilai: Indonesia tidak aman. Bukan karena terorisme, bukan karena kerusuhan, tapi karena pemerintah tidak mampu menjamin kepastian hukum dari gangguan jalanan dan tangan-tangan tak terlihat. Jika negara tak mampu menjaga integritas proses bisnis, maka siapa yang akan percaya bahwa Indonesia adalah tempat yang layak untuk menanamkan modal?

Pemerintah harus sadar: satu konferensi pers, satu razia, satu rapat tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah operasi pembersihan besar-besaran, penegakan hukum tanpa pandang bulu, dan pembongkaran jaringan patronase lokal yang selama ini melindungi premanisme atas nama “kearifan lokal” atau “kedekatan politik”.

Kita semua tahu bahwa di banyak daerah, para preman ini adalah alat politik. Mereka dibiayai, dilindungi, dan diberi proyek karena dianggap bisa mengamankan suara atau menekan oposisi. Inilah akar kanker yang sesungguhnya: politisi yang memelihara preman untuk kekuasaan. Dan selama ini dibiarkan.

Negara tidak boleh kalah. Jika Indonesia ingin menjadi kekuatan ekonomi dunia, maka tidak ada ruang untuk toleransi terhadap premanisme. Hukum harus ditegakkan secara brutal terhadap para pelaku pemerasan, baik yang berseragam maupun yang memakai dasi.

Kita ingin melihat tindak lanjut, bukan hanya retorika. Kita ingin melihat meja proyek dibersihkan dari intimidasi. Kita ingin melihat aparat menangkap bukan hanya preman kelas teri, tapi juga aktor intelektual dan pejabat yang melindungi mereka.

 


Sudah waktunya Indonesia bersih. Bersih dari premanisme. Bersih dari ketakutan.

Dan bersih dari kompromi terhadap pelanggaran hukum. Karena tanpa itu, kita bukan sedang membangun negara—kita sedang menyerah kepadanya. (PFG)


 

Ditulis oleh: Peter F. Gontha

Posted in Uncategorized.