Sekilas Tentang Perjalanan Hidupku

Writer :Me – Business Proffesional
Publisher :Gontha.com
Updated :2.02.2013 00:00

Sekilas Tentang Perjalanan Hidupku

Peter Frans Gontha

Nusa Dua, Bali , 9 Mei 2011.

 

Pengantar

Mengawali tulisan tentang diri dan kisah singkat perjalanan hidup saya, termasuk episode interaksi saya dengan Amerika, akan saya awali dengan sekilas gambaran situasi Negara kita di akhir tahun 60-an, masa dimana saya mengawali pengembaraan hidup untuk memulai menata diri menjadi manusia dewasa yang mandiri di negeri Belanda.

Sebagaimana kita ketahui pasca kekacauan politik di tahun 1965 yang memakan korban terbunuhnya sejumlah jenderal dan perwira TNI AD, Negara kita secara perlahan tapi pasti melangkah menuju Negara yang berkembang secara ekonomi dan sosial. Era pemerintahan Soekarno memang terkenal dengan hiruk-pikuk politik dan abai terhadap pembangunan ekonomi. Era Soekarno politik betul-betul jadi panglima.

Kekacauan politik tahun 1965 ini telah mengakhiri kekuasaan Presiden Soekarno yang kebijakan politiknya sangat konfrontatif terhadap barat (khususnya Amerika dan Inggris). Saat itu terkait dengan sikap penolakan pemerintahan Soekarno terhadap Amerika terkenal jargon go to hell with your aids. Bahkan dalam periode konfrontasi dengan Malasyia, sempat muncul jargon Malaysia kita ganyang  Inggris kita linggis.

Pasca Gerakan kudeta PKI 30 September 1965 yang gagal, Mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan berbagai eksponen bangsa lainnya bahu-membahu gencar melakukan aksi yang dikenal dengan TRI TURA (Tiga Tuntutan Rakyat), yaitu 1. Bubarkan PKI beserta ormas-ormasnya; 2. Perombakan kabinet DWIKORA; 3. Turunkan harga dan perbaiki sandang pangan. Akibat aksi ini pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah yang kemudian dikenal sebagai SUPERSEMAR. Supersemar memerintahkan Jendral Soeharto untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ormas-ormasnya. Selain itu Supersemar juga mengamanatkan agar meningkatkan perekonomian Indonesia sehingga dapat terwujud kesejahteraan sosial dan ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kisah selanjutnya seperti kita ketahui, setelah pertarungan politik yang cukup panjang telah berhasil menjadikan Jendral TNI Soeharto sebagai pemimpin baru di republik ini. Menyusul peralihan kekuasaan ke tangan Soeharto, diselenggarakan pertemuan antara para ekonom orde baru dengan para CEO korporasi multinasional di Swiss pada bulan November1967. Korporasi multinasional diantaranya diwakili perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel, Leman Brothers, Asian Development Bank, dan Chace Mahattan. Tim ekonomi menawarkan: tenaga buruh yang banyak dan murah, cadangan dan sumberdaya alam yang melimpah, dan pasar yang besar. Sebagai tindak lanjut dari pertemuan ini, sejarah mencatat bandul pendulum ekonomi Indonesia yang tadinya sangat anti barat dan modal asing mulai bergeser. Perlahan tapi pasti, perusahaan-perusahaan Amerika dan Negara sekutunya mulai merambah berbagai sektor di Indonesia. Freeport mulai mengoperasikan tambang emas dan berbagai mineral lainnya di Papua, Caltex mendapatkan ladang minyak di Riau, Mobil Oil mendapatkan ladang gas di Natuna, dan lain-lain.

Beriringan dengan berbagai peristiwa di Akhir tahun 60-an ini, puji Tuhan, saya dapat menyelesaikan pendidikan lanjutan atas saya di SMP – SMA Kanisius – Budhaya Jakarta, sebuah lembaga pendidikan yang telah banyak melahirkan alumni yang cukup berhasil di bidang pengabdian masing-masing. Nama-nama yang cukup dikenal di masyarakat di antaranya adalah sahabat dan sekaligus teman sekelas saya Fauzi Bowo yang saat ini masih menjabat sebagai Gubernur Provinsi DKI Jakarta. Nama lain adalah Yapto Suryosumarno tokoh pemuda Panca Sila, Erlangga Suryadarma putra dari perintis TNI AU Marsekal Udara Suryadarma, Roy Tirtaadji seorang bankir yang cukup sukses di masanya dan masih banyak nama lainnya.

Di tengah kondisi sosial politik dan ekonomi di tanah air yang belum stabil, dengan berbekal uang saku pas-pasan dan restu almarhumah ibu saya Alice, saya berlayar meninggalkan Jakarta menuju negeri Belanda untuk mengubah peruntungan nasib. Masa-masa indah sebagai remaja di Jakarta segera berlalu. Masa dewasa dengan ketidakpastian di negeri kincir angin menanti.

Masa Awal Perantauan di Belanda

Pilihan saya merantau ke negeri Belanda bukan tanpa alasan. Beberapa tahun sebelumnya almarhum Ayah saya William Gontha, telah lebih dulu bermukim di Belanda. Ayah saya pada tahun 1964 ‘terpaksa’ meninggalkan tanah air karena berkonflik dengan jajaran pimpinan Permina / Pertamina tempat Ia bekerja ketika itu karena menulis sebuah artikel di Majalah NEWSWEEK yang bertema korupsi di perusahaan tersebut sehingga demi keselamatannya meninggalkan tanah air.

Kedatangan saya ke Belanda sungguh bukan keadaan yang mudah dan bisa bermanja-manja. Kondisi ekonomi ayah saya ketika itu sangat terbatas. Maka tidak ada pilihan, saya pun harus bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup dan mencoba lepas dari tanggungan orangtua. Hidup sungguh keras. Sungguh tidak mudah bagi saya untuk beradaptasi dengan budaya Eropa yang sangat individualis dan sangat mengedepankan kemandirian. Sungguh berbeda dengan generasi muda sekarang yang datang ke Eropa untuk melanjutkan pendidikan dengan tanggungan orangtua atau bahkan beasiswa dari Negara. Melanjutkan pendidikan dengan kuliah di universitas bagi saya ketika itu sungguh menjadi barang mewah. Bisa bertahan hidup saja sudah bagus.

Berbagai pekerjaan keras sempat saya lakoni pada masa-masa awal di Belanda, seperti menjadi supir taksi, pelayan restoran, hingga tukang pembersih karat kapal. Itu semua saya lakukan untuk menyambung hidup dan memelihara harapan suatu hari bisa melanjutkan sekolah lagi.

Berlayar ke Amerika

Bulan Juli tahun 1968 adalah bulan yang tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup saya. Itulah kali pertama saya menginjakkan kaki di tanah Amerika, benua yang ditemukan oleh Christopher Columbus berabad lalu (30 Oktober 1451 – 20 Mei 1506).

Di tengah musim panas yang cukup terik, kapal pesiar Holland American Line, tempat saya bekerja sebagai kelasi, berlabuh di pelabuhan New York yang sibuk. Kami baru saja melalui pelayaran panjang mengarungi samudra Atlantik. Kelelahan setelah melalui delapan hari melintasi Atlantik tersebut, terasa langsung terobati begitu menginjakkan kaki di daratan dan melihat pemandangan kota New York yang gemerlap. Patung Liberty yang menjulang tinggi membelah angkasa, gedung-gedung pencakar langit, ramainya jalanan New York dengan mobil-mobil aneka warna, semua itu memberikan kesan yang sangat mendalam pada diri saya. Sebagai seorang pemuda dari Negara berkembang seperti Indonesia, ini betul-betul jadi pengalaman hidup yang tak terlupakan, bahkan setelah puluhan tahun sesudahnya. Kota New York yang selama ini hanya dapat saya lihat dalam film-film produksi Hollywood, kini betul-betul nyata dan saya telah berada di tengah hiruk-pikuk kota dan belantara gedung-gedung pencakar langitnya.

Kunjungan atau lebih tepatnya sekedar transit selama dua hari di New York ini, betul-betul telah mengubah perjalanan hidup saya selanjutnya. Walau ini hanya kunjungan singkat, saya betul-betul terpesona dengan Amerika. Dapat dikatakan saya telah jatuh cinta pada pandangan pertama. Jatuh cinta pada lingkungan dan masyarakatnya. Pemandangan kota yang tertata rapi dan bersih, masyarakatnya yang disiplin dan teratur, kemajuan teknologinya yang menonjol dan lain-lain. Keterpesonaan ini tertanam jauh dalam alam bawah sadar saya melintasi usia saya sampai saat ini. Kemudian hari saya semakin sering saya mengunjungi Amerika untuk berbagai keperluan dan tugas pengabdian.

Titik Balik

Kesibukan bekerja untuk mencari nafkah, tidak membuat saya lupa pada cita-cita saya melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan tinggi. Setelah sempat menekuni berbagai pekerjaan yang cukup kasar di masa awal perantauan saya di Belanda, tahun 1970 saya diterima bekerja di perusahaan minyak Shell. Di Shell inilah saya mendapatkan kesempatan emas untuk melanjutkan pendidikan. Saya mendapat kesempatan untuk belajar ilmu akuntansi di Praehap Institute Belanda. Selesai pendidikan saya bergabung lagi dengan Shell sampai tahun 1975.

Pada krisis politik Timur Tengah tahun 1972, sebagai akibat konflik Arab-Israel yang diiringi oleh embargo minyak oleh Negara-negara penghasil minyak Timur Tengah, saya mendapat kehormatan untuk menjadi satu dari tujuh orang ahli computer Shell yang melakukan komputasi perhitungan cadangan minyak untuk konsumsi Negara-negara Eropa ketika itu. Sebuah peranan yang sangat membanggakan di awal perjalanan karir saya. Apalagi saya satu-satunya orang Asia yang dilibatkan dalam tim itu. Dalam perjalanan karir saya selanjutnya, bekal ilmu akuntansi di Praehap Institute Belanda ini sangat membantu kelancaran karir saya.

Tahun 1975 saya mendapat tawaran bekerja di Citibank di Jakarta. Figur yang sangat berjasa membawa saya bergabung dengan Citibank adalah Bapak Alex Frans seorang mantan pejabat Bank Indonesia yang sudah bergabung lebih dulu dalam jajaran pimpinan Citibank di Jakarta. Saya terima tawaran beliau dengan penuh kegembiraan. Walaupun sebenarnya dari sisi gaji, saya menerima lebih kecil dibanding ketika saya di Shell. Bagi saya yang terpenting ketika itu, tawaran ini memberikan saya kesempatan kembali ke tanah air untuk mendarma-baktikan pengalaman dan pengetahuan yang saya peroleh dalam kiprah profesional saya di negeri Belanda bersama Shell. Di bawah bimbingan Bapak Alex Frans bersama Tuan Earl Glazier pimpinan Citibank Jakarta yang sebelumnya berprofesi sebagai seorang marinir Amerika dalam perang Vietnam, saya mengalami kemajuan pesat dalam karir. Di Citibank saya mencapai posisi sebagai assistant vice president. Saya bergabung di Citibank sampai tahun 1979. Periode ini menjadi titik balik perjalanan karir saya selanjutnya.

Pada masa di Citibank ini pula, saya diberi kesempatan untuk belajar pengembangan sistem perbankan online di Citibank New York. Pucuk dicinta ulam tiba. Sesuatu yang tadinya hanya impian dan keinginan di alam bawah sadar untuk bisa kembali ke Amerika, kini menjadi kenyataan.

Kesempatan untuk bekerja dan tinggal di kota yang sangat saya kagumi ini tidak saya sia-siakan. Inilah kali kedua saya menginjakkan kaki di bumi Amerika. Seperti saya tulis di bagian awal, di usia dua puluh tahun di tahun 1968, saya berkesempatan menginjakkan kaki di New York setelah berlayar dengan kapal pesiar Holland American Line yang berpusat di Rotterdam. Kenangan kunjungan singkat di kota New York sangat membekas di hati saya. Kenangan akan keindahan kotanya, sikap disiplin masyarakatnya selalu terbayang dalam memori saya. Selanjutnya selama dua tahun saya bolak-balik ke New York untuk mendapatkan pelatihan internal di Citibank.

Selama di Citibank, ada momen yang tak terlupakan yaitu ketika saya mendapatkan penghargaan setelah keberhasilan saya mengembangkan system perbankan online di 4 Negara Asia Tenggara yaitu Brunai, Indonesia, Malasyia dan Singapura (BIMS). Uang bonus US$ 25.000 pun masuk tabungan, sebuah angka yang tiada ternilai bagi saya ketika itu. Puji Tuhan. Puncak karir saya bekerja di perusahaan Amerika saya raih ketika saya dipercaya menjadi Vice President dan Kepala Perwakilan Operasional American Express Bank (AMEX : 1979-1983) di Hongkong yang membawahi empat belas Negara Asia di antaranya Jepang, Hong Kong, Korea, Taiwan, the Philipina, Malaysia, Singapura dan juga Indonesia.

Setelah sekian tahun saya mengembangkan karir profesional di perusahaan Amerika, kini tiba saatnya saatnya saya bergabung dengan perusahaan nasional. Di tahun 1983, Bambang Tri dan Rosano Barack mengajak saya bergabung ke dalam Group Bimantara.

Awal karir saya di perusahaan nasional saya mulai dengan bergabung dengan PT. Nusa Cipta Rencana (PT. NCR), yang bergerak dalam pengembangan National Cash Register (NCR). Pada masa ini saya berkesempatan ke Amerika lagi untuk mendapatkan pelatihan tambahan pengembangan system komputerisasi perbankan di Dayton, Ohio, Amerika. Sepulang dari Amerika, saya kembali meraih prestasi yang tak terlupakan juga. Saat itu, dalam waktu 6 bulan, saya berhasil menjual 12 perangkat computer (software dan hardware) untuk kepentingan komputerisasi perbankan di Indonesia. Di antara institusi perbankan yang membeli produk yang saya jual adalah AMEX, BI, BCA, dan lain-lain.

Selanjutnya perjalanan karir saya terus berkembang. Banyak perusahaan sudah saya dirikan bersama putra bangsa lainnya. Antara lain Plaza Indonesia Realty (The Grand Hyatt, Jakarta), Bali Intercontinental Resort, Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI). Surya Citra Televisi (SCTV), PT. Chandra Asri, PT Tri Polyta Indonesia, Indovision, PT First Media, QTV dan lain-lain.

Saat ini saya masih bekerja aktip dalam mengembangkan PT. First Media Tbk. sebagai Presiden Komisaris; Group Publisher Beritasatu Media Holding yang membawahi di antaranya Beritasatu TV, Majalah Investor, Harian Suara Pembaharuan, harian berbahasa Inggris Jakarta Globe, dan lain-lain; Anggota Dewan Investasi BKPM; Anggota Komite Ekonomi Nasional (KEN); Wakil Ketua Kadin Indonesia Bidang Investasi dan Perhubungan dan sejumlah jabatan pengabdian lainnya.

Di akhir tahun 2011 yang lalu, saya baru saja melepaskan jabatan sebagai Ketua Kadin Indonesia Komite Amerika Serikat (KIKAS). Saat ini KIKAS dipimpin oleh John Riady, sosok muda yang sangat bersemangat dan penuh dedikasi dalam membina hubungan komunitas bisnis Indonesia – Amerika Serikat.

Belajar dari Budaya Bangsa Amerika

Kembali kepada peristiwa di awal-awal saya merantau ke Belanda, di tahun 1968 saya berkesempatan mengenal lebih dekat Amerika, tepatnya saya berkesempatan menginjakkan kaki di New York. Kedatangan saya ke New York, walaupun sangat singkat, sungguh sangat berkesan. Terutama saya sangat terkesan dengan keseharian masyarakat Amerika secara umum. Hal yang sangat saya kagumi di antaranya adalah budaya disiplin, budaya berkompetisi dan selalu bersemangat untuk menjadi yang terbaik, budaya bekerja keras, budaya sportivitas, budaya inovasi dan lain-lain. Terkait budaya disiplin, bisa terlihat dengan keseharian mereka yang sangat menghargai waktu.

Di atas semua itu yang sangat saya kagumi adalah kecintaan bangsa Amerika pada budaya inovasi. Inovasi telah menjadi motor kemajuan ekonomi Amerika. Berbeda dengan Indonesia yang sebagian terbesar motor penggerak kemajuan ekonomi masih berasal dari aktivitas eksploitasi sumber daya alam.

Mengutip Wakil Presiden Boediono (Kemajuan Ekonomi RI Bukan karena Inovasi, Kompas, Rabu, 9 Mei 2012), disebutkan bahwa sampai tahun 2009 jumlah paten internasional yang didaftarkan Indonesia hanya 6 buah. Jauh di bawah Amerika Serikat di peringkat pertama, disusul Jepang, yang patennya mencapai puluhan ribu. Dalam hal pendaftaran logo industry (trade-mark), Indonesia juga tertinggal jauh hanya 15 buah. China memiliki 84.000 logo, Thailand 386 logo, Malasyia 513 logo dan Filipina 54 logo.

Ke depan untuk menjadi Negara yang maju, Indonesia tidak lagi boleh selalu bertumpu mengandalkan berkah kekayaan alam sebagai sumber utama pertumbuhan dan kemajuan ekonomi. Belajar dari pengalaman banyak Negara yang kaya akan sumberdaya alam, tidak jarang kekayaan itu menjadi ‘kutukan’ jika terus dieksploitasi, tanpa ada inovasi yang mengandalkan kemampuan sumber daya manusia. Sudah saatnya Indonesia memberikan prioritas bagi lahirnya karya-karya inovasi yang dapat diandalkan sebagai sumber jangka panjang kemajuan bangsa.

Satu lagi budaya bangsa Amerika yang menurut saya sangat menonjol dalam keseharian masyarakatnya adalah budaya berargumentasi. Pengalaman saya berhubungan dengan masyarakat Amerika, seringkali kita terlibat perdebatan dan argumentasi yang panjang. Namun dengan sportif mereka akan berhenti berdebat apabila kita berhasil memberikan argumentasi yang logis dan masuk akal.

Refleksi perjalanan hidup dan karir saya

Menjadi pengusaha atau tepatnya sebagai profesional yang banyak membangun berbagai jenis usaha, sebetulnya bukanlah sesuatu yang menjadi impian terbesar masa kecil saya. Sejak kecil saya bercita-cita menjadi musisi. Hal ini tidak terlepas dari lingkungan masa kanak-kanak saya yang memang sudah sangat akrab dengan dunia musik, khususnya musik jazz. Musik jazz sudah saya akrabi sejak berusia 8 tahun. Ayah kandung saya, William Gontha, adalah pendiri dan pemimpin big band di perusahaan minyak Shell di Surabaya. Anggota band BPM Shell tersebut antara lain Bubi Chen, Jack Lesmana, dan Maryono, perintis dan mahaguru jazz Indonesia.

Namun seperti kata pepatah, tak mungkin nangka berbuah semangka. Terlahir dari Ayah seorang profesional yang bekerja di Permina (Pertamina) dan Ibu yang aktif sebagai suplier di Caltex dan Stanvac di masanya, tentu tak dapat dipungkiri pengaruh keduanya sangat besar dalam kehidupan saya hingga saat ini. Dari keduanya saya mewarisi jiwa profesional dan semangat berwirausaha.

Pada kesempatan ini saya teringat kembali pada sebuah kartu pos yang dikirim Ayah saya pada pertengahan tahun 80an, If you win the rat race, you’re still a rat. Yang terjemahan sederhananya, jika kamu menang dalam kompetisi tikus, kamu tetap masih tikus. Sungguh tulisan singkat dalam kartu pos Ayah saya tersebut, telah menjadi mantra sakti dalam memotivasi saya untuk berusaha untuk maju dan semakin maju dalam kiprah professional saya hingga saat ini.

Sebagai seorang pengusaha, saya juga tidak terlepas dari kegagalan. Saya telah banyak mengalami pahit getirnya jatuh dalam usaha. Waktu saya membangun Indovision misalnya, menurut saya semuanya sudah melalui proses perencanaan dan pertimbangan bisnis yang sangat matang. Tapi tiba-tiba terjadi krisis moneter. Pinjaman Indovision pakai dolar dan saya berpikir, waktu dolar terus naik, nanti juga turun. Tapi kenyataannya tidak. Nah, itu salah satu kegagalan total saya.

Lantas bagaimana sikap saya menghadapi sebuah kegagalan? Ya sudah terima saja dengan lapang dada. Mau ngapain lagi? Kita harus mencoba. Dengan berbuat kesalahan, kita berkesempatan belajar dan memperbaiki diri. Mengambil hikmah dari kiasan orang China, dalam menghadapi masalah dalam bisnis, kalau sudah masuk ke satu lubang, janganlah menangis. Tapi cari cara bagaimana bisa keluar dari lubang itu. Jadi, kita harus selalu berusaha, berjuang, dan berani melakukan terobosan. Seorang pemimpin tidak boleh berdiam diri. Ia harus berani mengambil risiko dengan menyuarakan dan membela ide yang dimilikinya.

Tentang kesuksesan yang dinilai banyak orang kini telah saya gapai, saya menganalogikan upaya mencapai sukses seperti harga buah anggur.
Untuk menjadi anggur yang baik dan mahal, harus melalui banyak pemrosesan, seperti harus digiling, dihancurkan, diinjak, digiling, disaring terus berulang-ulang hingga akhirnya ditaruh dalam bejana dan disimpan bertahun-tahun. Dilupakan orang sampai akhirnya bisa menjadi minuman anggur yang berharga. Bahkan buah anggur yang mahal harganya dilihat dari tahun berapa anggur tersebut diproduksi. Semakin lama anggur disimpan, semakin mahal harganya. Begitu pula tentang kehidupan. Semakin lama Tuhan membentuk kita, maka semakin berharga kita di mata Tuhan dan semakin besar upah yang layak kita terima. Akan tetapi untuk meraih hasil yang baik, kita harus kuat menghadapi pemrosesan yang Tuhan izinkan. Kita harus rela menderita bersama Tuhan, memiliki hati yang rela untuk dibentuk, dihancurkan bahkan mungkin dilupakan orang lain. Tapi percayalah Tuhan Maha Adil, lebih besar harga yang rela kita bayar, maka lebih besar pula upah yang layak kita terima.

Catatan Penutup

Tanggal 4 mei 2012 yang baru lalu, saya baru saja berulang tahun yang ke 64. Di usiaku yang tidak muda lagi, kucoba melihat dengan penuh rasa syukur apa yang sudah Tuhan anugerahkan kepadaku. Puji Tuhan, istri tercinta masih sehat dan setia mendampingi setiap langkah pengabdianku. Saya sadar, saya masih terus berusaha untuk menjadi suami, ayah dan kakek yang dicintai dan disayangi.

Saat tulisan ini saya tuangkan, putraku Francois, seorang yang sangat serius, dan seorang Ayah yang mengutamakan keluarganya diatas segalanya, telah memberikanku kegembiraan hidup dengan 3 orang cucu yang cantik-cantik (Anggie, Serafina dan Mikaela). Perhatiannya kepada keluarganya sering membuat saya bertanya pada diri saya sendiri apakah saya telah melalaikan keluarga saya sendiri atau kurang memperhatikannya.

Putriku Dewi telah memberikanku dua orang pangeran yang ganteng-ganteng (Alvaro dan Dante Nathaniel). Apa lagi yang aku cari?

Semua impian masa kecil ku, sudah Tuhan berikan.

Salah satunya adalah berkecimpung didalam dunia music. Memang saya tidak berhasil menjadi musisi terkenal. Tetapi melalui Java Jazz Festival yang dirintis oleh dan diurus putriku Dewi, aku bisa menikmati musik dan menghadirkan kegembiraan bagi rakyat lintas generasi, gender, agama, bahkan suku bangsa dan Negara. Saat ini Java Jazz Festival telah berhasil menjadi salah satu festival terbesar tahunan musik jazz di dunia. Tentu pada gilirannya event festival ini juga dapat berguna menjadi sarana kampanye positif tentang Indonesia di dunia internasional. Paling tidak kehadiran para musisi dan penyanyi papan atas dunia ke Indonesia melalui even java jazz festival ini bisa membantu mengirim sinyal positif kepada para investor, bahwa kondisi keamanan di negeri ini kondusif untuk berinvestasi.

Menurut Google, yang bekerja sama dengan Java Jazz Festival, streaming yang dilakukan telah menjadi ‘hits’ terpopuler di Google ranking ke 4 dalam sejarah Google. Ranking Utama Google adalah pemilihan dan Kampanye Presiden Obama. Dapat dibayangkan senangnya kami sekeluarga dapat memberikan sumbangsih ini kepada Negara dan Bangsa Indonesia. Ini semua tidak lepas dari dorongan yang diberikan Isteri dan keluarga saya, dan juga tokoh tokoh seperti pengusaha Arifin Panigoro, Menteri Marie Pangestu, Menteri Jero Wacik, Menteri Gita Wiryawan dan bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri.

Kini, sebagai bangsa Indonesia, yang tersisa adalah harapan ingin melihat negeri ini lebih baik. Negeri ini masih bisa menghadirkan kemajuan yang bisa dinikmati generasi cucu-cucuku dan generasi sesudahnya. Semoga!!!!!

Nusa Dua, 10 Mei 2012

Posted in Articles.